Oleh Agussalim, SH- Era kita saat ini ditandai oleh fakta politik, demokrasi dan keterwakilan rakyat dalam kekuasaan negara yang merupakan salah satu system yang sering disebut sebagai TEORI REJIM atau Partai Yang berkuasa dalam koalisi pemilu. Teori ini menjadi stigma politik bagi perjuangan demokrasi rakyat jika dilihat sebagai wujud kedaulatan untuk bersaing tanpa mempersoalkan idelogi apapun yang diyakini.
Partai dan perjuangan demokrasi bagi kekuatan rakyat menghadapi kekuasaan Rejim memerlukan bentuk yang sinergis bagi kekuatan lama dan era baru menuju partisipasi politik, namun hingga saat ini, kekuatan diantara Perjuangan Rakyat dan Penguasa yang Berkuasa atas nama Rejim memiliki common sence atau gezond verstand yang hakekatnya tidak menjadi cukup terpenuhi dan terdamaikan, itulah peradaban demokrasi poilitik setiap bangsa dan negara sejak Parlemen mewakili kepentingan umum rakyat. Sebagai bangsa yang berkembang.
Indonesia memiliki masyarakat agraris dalam bingkai sisa-sisa feodalisme dari akar yang panjang. Stigmatisasi kebudayaan mengalami sinkritisme atas kolonialisme asing, merupakan bagian tak terpisahkan dari doktrinnya tentang Alam dan Esensi bahwa demokrasi dan politik di Indonesia bukan hasil perjuangan anti kapitlaisme, jika itu mau dikatakan dalam Epistemologi Marx. Sebab hingga saat ini, kemerdekaan menuntaskan kolonialisme dan imperialism menjadi pegangan dalam konstitusi tertulis UUD 1945.
Dalam rangka memahami fakta, data, peristiwa, relasi dan interaksi secara umum, kepemimpinan dari sektor massa rakyat membuka diri sejak reformasi meletus dan dari segi relasi yang bercorak linear masih menyisahkan anasir rejim Orde Baru. Ini yang tidak terpisahkan dari essensi perubahan dan berkembangnya melalui sejarah masyarakat di Indonesia.
Lebih dari itu, bagi sederhana, sesungguhnya dapat dikatakan menjadi apa adanya ketika ia mencapai pemenuhan bentuknya, daripada ketika ia masih berada secara potensial. Essensi dari suatu benda ditunjukkan dalam proses perkembangan yang bersamanya bentuk atau esensi itu dicapai. Namun, bagi Aristoteles, bentuk atau finalitas dari suatu benda adalah tetap dan tak berubah, berbeda dengan Marx dimana esensi berubah dan berkembang melalui sejarah.
Perpolitikan dari rejim reformasi menyebutkan bahwa kebutuhan (need) yang sebenarnya menghubungkan esensi dan eksistensi rakyat semakin terkuras menuju kebutuhan kekuasaan dari kegiatan politik, Pesta Demokrasi. Kebutuhan Kekuasaan ini merupakan kehausan bagi esensi untuk melengkapi aktualisasinya dalam eksistensi yang primordial.
Bermula dalam geliatnya animo aktivis lingkungan yang menemukan identitas formalnya dalam membentuk jatidiri melalui Ormas Sarekat Hijau Indonesia /SHI) serta mendeklarasikan Partai Hijau Indonesia (PHI) pada 5 Juni 2012 lalu, pertanyaan klasiknya muncul kerap terdengar ambigu. Partai ini berbasis kader atau berbasis massa? Jika kader, siapa? Dan jika massa, siapa? Aktivis lingkungan sajakah, atau dapat diperluas lebih jauh lagi? Jika ya, kepada siapa atau kelompok mana? Jika pendekatan partisan massa, massa partisan yang mana di sasar?
Saat itu, saya sempat yakin seyakin yakinnya punya jawaban yang cukup baik. Apalagi saya yang sempat berangkat dari gerakan Partisan massa Demokratik era Orde Baru dan terlibat membangun basis sektor massa Progresif, tentunya pikiran singkat saya ada tekad bahwa PHI harus menjadi partainya gerakan sosial Indonesia. Saya masih yakin harus menjadi perpanjangan tangan dari gerakan masyarakat sipil. Mulai dari gerakan lingkungan, antinuklir, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan, kaum urban, HAM, antikorupsi, buruh, kaum marjinal, hingga kelas-kelas petani, nelayan, dan seterusnya.
Alasannya sederhana, yakni keyakinan bahwa gerakan lingkungan dapat menjadi perekat bagi yang selama ini tidak punya wakil untuk memperjuangkan kepentingan mereka di pusat-pusat pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Jika pun ada aktivis yang menjadi wakil rakyat atau penguasa melalui partai-partai yang ada, nyaris semuanya gagal atau rentan dibajak oleh partai-partai konvensional.
Non-Partisan, “Real Momentum”, Partai Gerakan dan Bukan Single Issue Party
Beberapa tahun sebelum PHI dideklarasikan, di Eksekutif Nasional Walhi Nasional ramai disibukkan pada agenda ideologi gerakan Hijau. Secara Tipologis, kemiripan ini mirip era Orde Baru, memilih NATO /Not Action Talk Only atau Terjun Langsung mengorganisir massa. Kehadiran badan Ad Hok pembentukan Ideologi politik hijau yang informal di Walhi mencurahkan sebab dan akibat menjadi dan memilih Garis Partai dan Ormas Partai Hijau dengan Institut Hijau sebagai motor inner cicle pemikiran non partisan, namun kesemunya oposisi sifatnya dan memilih ideologi yang rampung dalam jaringan.
Saya pernah berkomentar dan menulis keunikan fundamental dari politik hijau di pertemuan informal gerakan hijau. Menurutku, politik hijau memiliki sifat nondivisif (non-divisive) alias tidak membeda-bedakan. Politik hijau mampu melampaui segala perbedaan yang ada. Alasannya, karena isu lingkungan dan penghancuran ekologi mengancam semua manusia, terlepas dari bentuk perbedaan sosial manusia (kelas, ras, warna kulit, jender dan lain-lain), namun dalam sistem yang ada sekarang apakah memungkinkan?
Sifat non-divisif saya mengutipnya dari tulisan John Muhammad Eksponen 98, Manchunian dan Sekretaris Jenderal PHI, dan Dian Abraham adalah Aktivis Antinuklir, Liverpudlian dan Juru Bicara Nasional PHI untuk Energi Terbarukan ini amat terasa buktinya dalam gerakan antinuklir. Baik dalam hal senjata nuklir maupun sebagai energi. Dalam isu senjata nuklir, kehancurannya pasti bersifat timbal-balik (mutually assured destruction), baik pelaku maupun korbannya. Dan uniknya, para pendukung nuklir itu berasal dari nyaris semua spektrum ideologi di dunia, mulai dari kiri hingga kanan.
Isu nuklir sesungguhnya pemersatu dari gambaran kehancuran alam yang diakibatkan oleh teknologi buatan manusia. Karena itu, keberpihakan Partai Hijau terhadap ekologi di isu nuklir betul-betul melampaui semua perbedaan manusia, baik secara ideologi maupun sosial. Fritjof Capra dan Charlene Spretnak menyimpulkan sifat ini dengan semboyan: “Neither left nor right. We are in front.”
Artikel yang berjudul “Lengan Politik Masyarakat Sipil” Pengalaman dan Ikhtiar Partai Hijau Indonesia yang ditulis John Muhammad dan Dian Abraham ini sangat penting kita jadikan referensi kita memandang politik hijau dari perspektif sosiologi partisan. Menurut tulisan mereka dengan mengutip Rocky Gerung yang mengamini bahwa di antara semua kelas yang tertindas, yang paling tertindas adalah lingkungan hidup. Penyebabnya karena semua kelas tersebut ikut serta dalam merusak lingkungan.
Meski tidak menyimpulkannya sebagai “real proletar”, Rocky secara lugas menyatakan, “proletarnya proletar dari proletar-proletar yang ada adalah lingkungan atau alam”. Dengan mengutip pemikiran Chistopher D. Stone yang menulis makalah “Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects”, Rocky menyimpulkan bahwa secara filsafati, dan provokatif, anggota PHI seharusnya adalah seluruh obyek alam di dunia ini.
Keterkaitan isu lingkungan dengan gerakan sosial lainnya itu membuat potensi isu lingkungan sebagai perekat gerakan sosial nampak sangat jelas. Tak satu pun gerakan sosial yang tidak bersentuhan dengan isu lingkungan hidup. Begitu pula peran PHI yang kami bayangkan.
Hal itu didukung oleh Ivan Hadar dengan tulisan yang berjudul “Partai Hijau, Partai LSM”, dua minggu setelah deklarasi PHI. Gagasannya adalah menyinergikan masyarakat sipil dengan gerak langkah PHI. Istilah LSM dipakai bukan dalam pengertian mengecilkan ruang lingkup masyarakat sipil, melainkan sebagai motor dari partai tersebut. Dan yang tak kalah penting, di dalam tulisan itu, Ivan dengan tepat menyebutkan berbagai isu atau LSM ‒ tak hanya isu lingkungan saja ‒ sebagai ranah perjuangan PHI.
Persis gagasan Partai Hijau di Jerman yang dikenal Ivan ‒ yang awalnya dimaksudkan sebagai sayap politik praktis (political arms of the movement) dari gerakan sosial baru yang muncul pasca koalisi besar partai politik di sana. Jadi bukan gerakan sosial yang disubordinasi oleh Partai Hijau, namun sebaliknya, Partai Hijau-lah yang menjadi perpanjangan tangan dari koalisi gerakan masyarakat sipil yang terpinggirkan tadi.
Tapi bagaimana dengan penerimaan masyarakat sipil terhadap PHI? Terhadap parpol baru yang didedikasikan untuk kepentingan mereka?
Masyarakat Sipil: Kontradiksi Anti-Parpol, Activist Partisan dan Basis Massa
Agenda Reformasi menempatkan bagaimana pegiat masyarakat sipil memiliki kesadaran bahwa problem politik di Indonesia adalah parpol. Setiap perjuangan agenda masyarakat sipil pada akhirnya ditentukan oleh lembaga legislatif – yang berarti berhulu pada parpol. Ketiadaan parpol yang setia memperjuangkan agenda masyarakat sipil membuat gerakannya selalu terhenti secara tragis.
Inilah kontradiksinya. Kita anti parpol, tapi kita sadar membutuhkan parpol untuk menentukan kemenangan agenda rakyat. Kesulitan inilah tujuan demokrasi menjadi kabur diakibatkan gagasan pragmatis dari nilai nilai perbedaan yang tidak mengakomodir krisis politik.
Namun, pada saat yang sama, krisis yang terbengkalai ini terus menggerogoti. Semakin lama mereka menunda-menunda pembangunan parpol independen, semakin lama pula populasi aktivis terus menggunung. Ini yang kami istilahkan sebagai ledakan aktivis (Activist Boom), yakni suatu fenomena yang membuat para aktivis, pada masa puncaknya, tidak dapat dipanen.
Setelah paripurna dalam satu organisasi, mereka kemudian berpindah organisasi dan begitu seterusnya. Jika tidak berpindah organisasi, mereka biasanya beralih menjadi akademisi, kelompok profesional (advokat, penulis, konsultan dan lainnya) atau bahkan berbisnis. Singkatnya, transformasi dari aktivis sosial menjadi politisi tidak terjadi. Yang ada, para aktivis ini terus memadati masyarakat sipil. Proses kaderisasi di organisasi menjadi terhambat.
Bagaimana dengan aktivis yang kemudian bergabung ke parpol yang ada?
Dengan berbaik sangka, kita tentu berharap mereka bisa mengubah keadaan. Sayangnya, itu tidak terjadi. Organisasi parpol yang ada saat ini, membuat ruang gerak mereka menjadi terbatas. Mereka memang tidak kompatibel dengan praktik despotisme dan nepotisme. Mereka bahkan tidak sanggup bersaing dengan orang-orang yang memiliki kapital besar ‒ yang jauh lebih dihitung.
Karena mereka bukan darah biru (atau memiliki kedekatan dengan penguasa parpol) dan tidak memiliki dana yang berlimpah (pemodal partai), maka mereka harus memilih pilihan pragmatis: loyalitas yang kuat. Pilihan pragmatis ini yang membuat mereka mulai membenar-benarkan kebijakan penguasa atau patron politiknya. Bahkan meninggalkan nilai-nilai yang mereka perjuangkan dulu. Yang berarti membunuh seluruh karir aktivismenya.
Orang-orang yang sudah mengorbankan karir aktivismenya ini biasanya berharap bisa memiliki peluang untuk membalikkan situasi dengan perubahan jabatan. Sayangnya, oligarki di parpol yang ada, membuat mereka mengantre begitu lama.
Mereka biasanya terus-menerus menunggu posisi yang pas untuk mengembalikan keberpihakan mereka semula pada agenda-agenda publik. Misalnya, saat sudah menjadi anggota parpol dan ditagih untuk bersikap dan berpihak, mereka akan berkata, “Aku ini apalah di partai, bukan pula di struktur nasional dan bukan pula anggota DPR.” Tapi, begitu sudah menjadi anggota DPR atau menjabat sesuatu di struktur nasional, mereka tetap berkata, “Aku ini apalah di partai, bukan Ketua dan bukan Dewan Pembina.”
Dengan kondisi semacam ini, sebenarnya yang membuat para aktivis tidak bernafsu untuk memperjuangkan agenda-agenda rakyat melalui parpol bukanlah alasan-alasan yang mulia dan etis yang sering kita dengar seperti: berjuang tanpa pamrih kekuasaan politik, ingin menjadi intelektual organik dan lain sebagainya. Mereka menghindar dari agenda membangun parpol sendiri karena memang bersama dengan masyarakat sipil adalah zona nyaman bagi aktivis.
Zona nyaman tersebut membuat mereka kokoh secara sosial dan politik. Zona nyaman itu yang membuat mereka selalu “politically correct.” Media pun menyokong posisi politik ini. Seringkali kita temui, pendapat anggota parpol (yang diposisikan kurang baik) dibenturkan dengan pendapat aktivis non parpol (yang diposisikan baik). Dalam berbagai ruang dan kegiatan masyarakat sipil, aktivis non parpol memiliki ruang politik yang lebih luas dan kedudukan politik yang lebih mulia (karena tidak memiliki motif mengejar kekuasaan).
Tidak ada yang salah dengan semua tantangan ini. Kita tidak perlu mengutuki persoalan ini. Tapi, dari kondisi ini, kita harus memberi solusi.
Gerakan Hijau bagi Perjuangan Partisan
Berdasar pengalaman PHI, beberapa partai legal saat ini juga memiliki platform yang peduli Hijau. Sebutlah PKB, dengan nyata memanifestasikan sikap partisan untuk politik hijau. Berbeda dengan PKB yang baru mengidentitaskan dirinya sebagai Partai Hijau pada 4 (empat) tahun yang lalu dan terus berperan dalam kancah perpolitikan bangsa melalui pemilihan umum. Partai Demokrat sebenarnya dalam setiap pertemuan informal mulai melirik bagaimana situasi dan kondisi politik sejak beberapa aktivis bergabung 2 tahun terakhir di daerah daerah.
Sayangnya ini masih dalam kerangka nalar wacana disetiap kader partai Demokrat semata. Sebab, menurut hemat saya rakyat butuh penjelasan dan solusi alternatif yang ditawarkan mengenai sejumlah masalah yang menyelimuti parpol-parpol pada umumnya, termasuk Partai Demokrat dalam ikut membangun tradisi partisan gerakan hijau.
Berikut ini beberapa catatan saya melihat penting Partai politik dan Partisan rakyat dalam upaya menjadikan dirinya sebagai mediator dan oposisi politik bagi perjuangan yang merusak gerakan masyarakat dalam memperjuangkan Green Politic. Beberapa catatan kecil saya inilah selalu saya ukur berdasarkan sejumlah pertanyaan yang sering saa temui dan diskusikan di beberapa partai politik khususnya di Sulawesi Tengah.
Catatan: Demokrasi partisipatoris (dalam bahasa lain disebut pula dengan istilah grassroots democracy, direct democracy) adalah model demokrasi paling mutakhir yang berkembang saat ini, yakni dimana peran publik dalam demokrasi diupayakan lebih luas, dalam, efisien dan aktif. Ini lebih klop dengan masa depan dan kemajuan berperannya suara rakyat yang kini kita perjuangkan, dimana nantinya individu atau kelompok-kelompok kecil masyarakat berperan lebih mandiri dan produktif membangun dirinya (serta negara, secara tidak langsung).
Dengan adanya catatan kecil saya ini, maka kritik yang mengatakan politik hijau hanyalah single-issue politic, semestinya gugur, dan bagi Partai Politik yang berlum memiliki keberpihak akan gerakan hijau semestinya dimulai dari sekarang terbangun demi terciptakannya demokrasi yang baik bagi Pemerintahan yang Kuat dimasa datang.
Catatan lainnya juga yang tak kalah penting adalah kesan utopia dan keraguan atas aplikasi politik hijau dalam kehidupan sehari-hari. Kritik ini lagi-lagi tertangkis dengan terus lahir, berkembang serta mulai diadopsinya terapan hijau dalam berbagai bidang oleh pemerintah dari berbagai bangsa. Dalam ekonomi, sekarang muncul “green economy”, “green business” dan “green banking” (istilah lain dari “sustainable banking”). Bahkan, dalam seni terapan, “green design” telah berkembang dan dipraktikan sejak lama.
Penutup : Sosialisme dan Demokrasi Green Movement
Kita tahu, Indonesia memiliki kekayaan alam yang meruah, tapi, seketika itu juga kita tercengang dengan laju perusakan hutan seluas dua kali lapangan sepak bola perdetik. Dengan itu, Indonesia tercatat dalam guiness book of record sebagai negara nomer wahid tercepat dalam laju penebangan hutan di dunia. Namun, disisi lain kemiskinan masih merajalela. Jadi, siapa sebenarnya yang memanfaatkan sumberdaya alam kita.
Dengan realitas alam kita, mungkin juga di belahan dunia lainnya, gerakan hijau yang didalamnya juga konservasi alam menjadi nyaris mutlak diperlukan sebagai green movement. Sayangnya meletakkan politik konservasi masih pendekatan birokrasi disemua pemerintahan di negara = negara di dunia.
Sebaliknya posisi orang-orang yang selalu menyuarakan kelestarian alam dan keselarasan hidup dengan alam menjadi sangat penting dan vital untuk dapat lebih intens dan konsisten bergerak dengan berbagai pendekatan pemikiran dan keilmuan, misalnya bagaimana pendekatan ekologis dielaborasikan dengan ilmu-ilmu yang membeaskan dan memerdekakan hidup ummat manusia sangat afirmatif dijadikan ideologi bersama.
Politik hijau atau green politics sebenarnya memiliki pendekatan yang amat menyeluruh, karena paradigma ini ingin mengembangkan konsep dan cara pandang baru yang memadu. Politik hijau merupakan wadah usulan politik yang dikembangkan oleh pencinta lingkungan guna menuju masyarakat berkelanjutan. Politik hijau menawarkan berbagai insentif politis bagi para politisi melalui berbagai mekanisme. Salah satunya dari pendekatan tersebut adalah korelasi green movement terhadapa sosialisme. Mengapa demikian ?
Beberapa pakar berpendapat bahwa politik yang berwawasan lingkungan sebagian besar berada pada domain ilmu politik yang mengkaji peranan negara, institusi, ekonomi politik, kekuasaan, norma dan ideologi, juga berkaitan dengan jaringan internasional. Namun politik lingkungan justru paling dinamis pada sisi lingkungannya, seperti pencemaran udara, air dan tanah, penipisan lapisan ozon, perubahan iklim dan pemanasan global, institusi berlabel hijau, masyarakat local, dan sebagainya.
Pada awalnya teori Green political mengkritik kapitalisme dan komunisme dengan menyatakan “kami tidak berada di kiri, dan bukan juga di kanan, kami berada di depan”. Isu yang diambil green politics adalah tentang ekologi, sosial dan psikologi. Green theory melahirkan filosofi ekosentris yaitu filososfi yang menghargai segala bentuk kehidupan tak hanya nilai instrumental manusia dan lingkungan hidup secara global melainkan melindungi jaringan besar seluruh kehidupan yang ada di bumi.
Green politics dibangun berdasarkan dua konsep utama, yaitu keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan, menjadi jalan alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan yang bertumpu pada konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable development). Dari perspektif Ideologi, Green Politics lebih mendekatkan dirinya pada Sosialisme. Mengapa seperti ini? Sejak dipopulerkan oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud dalam l’Encyclopédie Nouvelle tahun 1832 oleh tokohtokoh seperti Saint Simon.
Penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite.
Demokrasi dan sosialilsme merupakan dua ideologi yang sekarang nampak diannut di berbagai Negara yang bukan Fasis dan bukan Komunis. Dalam keadaan sekarang tidak mudah merumuskan pengertian demokrasi . Berbagai macam demokrasi telah berkembang menjadi berbagaai bentuk masyarakat.
Demokrasi Pilihan Sosialisme bagi negara negara berkembang untuk menjalankan agenda demokrasinya sangat memerlukan Sosialisme sebagai spirit politik akibat ketidakadilan Ekologi yang berdampak pada Eksploitasi Buruh dan Tani.Sayang, kajian dan pendekatan politik hijau masih “ragu” didiskusikan dan apalagi memilih menjadi pilihan gerakan green movement. ***
(ketua Ketua AMD DPD Partai Demokrat Sulteng Partisan DPD Demokrat Palu)