Penanganan dugaan korupsi di Kejaksaan Negeri (Kejari) Palu “setara” kasus kecelakaan lalulintas.
Bayangkan saja sudah jelas-jelas penyidik Kejari Palu telah menetapkan dua orang tersangka dugaan korupsi proyek sumur artesis untuk kebutuhan air bersih warga hunian tetap (huntap) tondo bagi korban bencana alam 2018 itu.
Namu kedua orang tersangka itu tidak langsung dilakukan penahanan badan, tapi hanya tahanan kota dengan alasan kemungkinan tahap dua baru dilakukan penahanan.
“Artinya bisa iya bisa tidak ditahan bandan”.
Kebijakan Kejari Palu tidak melakukan penahanan badan terhadap dua orang yang telah ditetapkan tersangka itu, menunjukkan sikap seolah-olah penanganan kasus korupsi di Kejari Palu itu “setara” dengan perkara lakalantas.
Padahal penyidik telah menemukan alat bukti yang cukup menurut kriteria pasal 184 KUHAP, dan dengan alat bukti tersebut telah menimbulkan keyakinan bagi jaksa penyidik bahwa tersangkalah pelaku tindak pidana dugaan korupsi itu.
Praktisi hukum Fransiscus Manurung, SH dalam pandangan hukumnya mengatakan penahanan terhadap tersangka korupsi tidak harus menunggu penyerahan tahap dua, tapi sudah dapat dilakukan pada saat ditetapkan sebagai tersangka atau segera setelah itu.
“Penalarannya, korupsi bukanlah kejahatan biasa melainkan kejahatan luarbiasa (extraordinary crime) terhadap kemanusiaan dan dalam deklarasi PBB sudah dinyatakan musuh bersama (common enemy) bagi bangsa-bangsa yang beradab,”tandas pengacara senior itu.
Menurutnya sikap kejaksaan yang lembek terhadap tersangka korupsi dapat menimbulkan kesan seolah-olah bagi Kejaksaan, korupsi bukanlah extraordinary crime, bukan pula musuh bersama yang perlu dilibas.
“Penegakan hukum terhadap korupsi sebagai extraordinary crime, mestinya tanpa toleransi (zero tolerance),”tegas Frans.
Kata Frans Penahanan dan penyerahan tahap dua itu, praktik penegakan hukum terhadap kriminal biasa.
“Korupsi, narkoba, terorisme, dan Genocide oleh PBB sudah dinyatakan sebagai extraordinary crime dan common enemy.. musuh bersama bangsa-bangsa yang beradab. Masa’ ada toleransi bagi tersangka dugaan korupsi,”uangkap Frans.
Sebelumnya telah diberitakan Kasi intelijen Kejari Palu I Nyoman Purya,SH,MH yang dikonfirmasi via chat di whatsAppnya jumat sore (5/1-2024), mengatakan biasanya kalau sudah tahap dua dilakukan penahanan.
“Ia belum tahap dua juga biasax klu sdh tahap dua dilakukan penahanan,”tulis I Nyoman.
Kata I Nyoman silahkan menghadap Pak Kajari untuk lebih jelas namun info dari Kasi pidsus ybs sdh mengembalikan seluruh kerugian Negara 1, 7 M.
Ditanya apakah proses hukum lanjut, sekalipun tersangka telah mengembalikan dugaan kerugian negara? Jawab I Nyoman lanjut.
Mungkinkah karena tersangka telah melakukan pengembalian, sehingga tidak langsung ditahan bandan? Sedangkan pengembalian tidak menghapus pidana korupsi.
Adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) Azmi Hayat (AH) pada proyek balai prasarana permukiman wilayah sulawesi tengah (BP2WS) dan rekanannya Direktur CV.Tirta Hutama Makmur Simak Simbara (SS) tersangkan dalam kasus dugaan korupsi itu.
Kata Kasi Intelijen I Nyoman Purya waktu itu, hasil audit badan pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP) ditemukan dugaan kerugian negara sebesar Rp, 1,7 miliyar dari total anggaran Rp, 6,9 miliyar.
Proyek itu dikerjakan jaman kabalai BP2WS Ferdinand Kanalo dan Azmi Hayat adalah PPKnya dan Tarso Kasaternya.
Komisi pemberantasan korupsi mengingatkan kepada para pelaku kejahatan khususnya koruptor bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.
“Pengembalian uang hasil korupsi, tidak menghentikan pelakunya untuk tetap diproses hukum”.
Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya bagi pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.***