“Kejari Palu Diduga Tidak Jadikan Tipikor Musuh Bersama”
Ada yang berpendapat bahwa seorang atau beberapa orang tersangka (tsk) tindak pidana korupsi (Tipikor) perlu dikasihani.
Apalagi jika sudah mengembalikan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Patutkah tsk tipikor mendapat belas kasihan?
“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Dan jika sudah ditetapkan tersangka tindak pidana korupsi, berarti pihak Kejaksaan telah menemukan dua alat bukti (184 KUHAP) terhadap tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan tersangka.
Penahanan terhadap tersangka tidak harus menunggu penyerahan tahap dua, tapi sudah dapat dilakukan setelah penetapan tersangka.
Argumentasinya, korupsi bukanlah kejahatan biasa-biasa saja melainkan kejahatan luarbiasa (extraordinary crime) dan menjadi musuh bersama (common enemy).
Sikap kejaksaan negeri Palu yang lembek terhadap tersangka korupsi dapat mengindikasikan bahwa bagi kejaksaan tersebut, korupsi bukan extra ordinary dan bukan musuh kita bersama.
Dalam pasal 4 UU Tipikor menyatakan, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.” Penjelasan Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, “Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3.
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan.
Pasal ini mengatur, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.
Kemudian pada tahun 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang bertujuan untuk mencegah korupsi secara global dengan melakukan kerja sama internasional untuk bersama-sama melakukan langkah-langkah menghapuskan korupsi di seluruh dunia.
Hukuman berat bagi koruptor diharapkan mampu memberikan efek jera dan mengoptimalkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Hukumannya harus diperberat, yaitu bisa dijatuhi hukuman dua atau tiga kali seumur hidup. Bisa juga dimiskinkan sehingga betul-betul kapok,”kata almahrum ketua dewan pers prof Azyumardi Azra.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Palu diduga memberikan toleransi bagi tersangka korupsi proyek sumur artesis untuk kebutuhan air bersih bagi penyintas korban bencana alam gempa bumi, likuifaksi dan tsunami di hunian tetap (huntap) Tondo Palu sulawesi tengah.
Kejari Palu terkesan merasa kasihan terhadap dua tersangka dugaan korupsi proyek sumur artesis itu yakni masing-masing Azmi Hayat (AH) dan Simak Simbara (SS), sehingga tidak melakukan penahanan rutan, tapi hanya tahanan kota.
Azmi Hayat adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) di balai prasarana permukiman wilayah sulawesi tengah (BP2WS) yang saat itu dikepalai oleh Ferdinand Kanalo. Sedangkan Simak Simbara adalah rekanan proyek sumur artesis itu dibawah bendera CV.Tirta Hutama Makmur.
Proyek sumur artesis itu dengan anggaran Rp,6,9 miliyar tidak bermanfaat bagi warga huntap tondo, karena sejak dibangun hanya beberapa kali mengeluarkan air, setalahnya dan sampai sekarang tidak lagi bermanfaat, karena airnya tidak mengalir.
Proyek sumur artesis itu ibarat sudah jatuh tertimpa tanggal lagi. Bagaimana tidak? Anggarannya sudah dikorupsi tidak berfungsi lagi. Padahal anggarannya dibanderol Rp, 6,9 miliyar dan Rp, 1,7 miliyar diduga dikorupsi.
Bukti dugaan korupsi itu dimana pihak tsk (kontraktor – SS), katanya telah mengembalikan Rp,1,7 miliyar itu, makannya pihak penyidik Kejari tidak menahannya di rumah tahanan negara, tapi hanya tahanan kota.
Bukan itu saja tapi diduga ada uang jaminan kedua tsk proyek sumur artesis itu diserahkan ke Kejari Palu sehingga hanya dikenakan tahanan kota.
Kata salah seorang praktisi hukum biasanya uang jaminan itu dianggap uang “mati” alias tidak dikembalikan, tapi diduga diambil oleh pihak Kejari dimana uang jaminan itu dititipkan.
Kejari Palu terkesan tidak adil dalam penanganan tidak pidana korupsi. Sebab ada yang ditahan rutan dan adapula hanya tahanan kota.
Kejari Palu patut diduga tidak menganggap korupsi sebuah kejahatan berat yang dikhususkan (luar biasa), sehingga dua tsknya dibiarkan saja sebagai tahanan kota. Ironisnya lagi, salah seorang tsknya tidak tinggal di kota Palu, tapi di kota lain.
Komitmen pemberantasan korupsi oleh Kejari Palu benar-benar dipertanyakan. Karena membiarkan dua tsk hanya tahanan kota.
Padahal setiap tsk korupsi dikhawatirkan menghilangkan barang bukti dan melarikan diri, apalagi salah seorang diantaranya tidak tinggal di Palu, tapi di kota lain.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Palu Moh.Irwan Datuiding,SH,MH sebaiknya segera dimutasi atas dugaan tidak komitmen dalam pemberantasan korupsi dimana “memberikan toleransi” terhadap dua tsk dugaan korupsi proyek sumur artesis untuk warga korban bencana alam dahsyat itu.
Jangan ada rasa kasihan para pencuri uang rakyat itu. Karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang setara dengan kasus narkoba dan terorisme.
Makanya warga dunia menjadikannya musuh bersama. Semoga saja Kejari Palu segera menahan rutan dua tsk proyek sumur artesis itu. ***