Zwaeb Laibe (deadline-news.com)-Aceh-Museum Tsunami Aceh adalah sebuah museum di Banda Aceh yang dirancang sebagai monumen simbolis untuk bencana gempa bumi dan tsunami maha dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 silam
Museum Tsunami Aceh dirancang oleh seorang arsitek terbaik Indonesia, yang kini menjadi Walikoa Bandung, Ridwan Kamil. Kang Emil, sapaan akrab sang walikota, memenangi sayembara yang dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh. Mengalahkan 153 pesaing yang juga ikut dalam sayembara ini.
Dengan Tema ‘Rumah Aceh as Escape Hill’ Emil menyajikan ilustrasi yang sangat luar biasa. Museum ini berbentuk seperti Kapal PLTD Apung milik PT PLN (Persero), sebuah kapal pembangkit listrik yang kekuataan 10,5 Megawatt. Kapal Apung yang mengispirasi Emil itu, kini berpindah fungsi dari pembangkit listrik, yang juga menjadi salah satu objek wisata Tsunami Aceh. Mesin pembangkit listrik yang kekuatan dayanya mencapa
Kapal berbobot 2.600 ton ini sebelumnya berada di laut yang jauhnya sekitar 5 KM dari tempat berdirinya sekarang (Punge Blang Cut, Jaya Baru, Kota Banda Aceh). Pada tahun 2004, kapal ini ikut terseret sejauh 4-5 km ke daratan akibat gempa bumi dan dasyatnya gelombang tsunami yang tingginya mencapai 9 meter.
Emil merancang sisi museum seperti Lorong Tsunami. Menapaki lorong ini, kita seolah berada dalam kegelapan dengan sisi kiri kanan lorong yang diisi percikan-percikan air, menggambarkan bagaimana tinggi dan gelapnya gelombang tsunami. Lorong ini akan mengantarkan kita menuju ke “Cerobong Doa”, dimana terdapat ribuan nama yang menjadi korban tsunami, yang di sudut atasnya terdapat tulisan “ALLAH” yang senantiasa mengingatkan kita bahwa manusia semuanya akan kembali kepada Allah.
Selain itu, di dalam museum kita juga disajikan berbagai foto tsunami yang memporak porandakan kota yang berjuluk Serambi Mekkah, melalui ruang visual khusus. Di sebelahnya ada ruangan display dan ruangan sains tentang tsunami dan gempa bumi.
Emil berhasil memadukan kearifan lokal dan kejadian tsunami menjadi karya yang sangat indah. Museum yang berstruktur empat lantai dengan luas 2.500 m² ini, dinding lengkungnya ditutupi relief gambar orang-orang menari Saman, sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh.
Dari atas, atapnya membentuk gelombang laut. Lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung tradisional Aceh yang selamat dari terjangan tsunami.
Selain perannya sebagai tugu peringatan bagi korban tewas, museum ini juga berguna sebagai tempat perlindungan dari bencana semacam ini pada masa depan, termasuk ‘bukit pengungsian’ bagi pengunjung jika tsunami terjadi lagi.***