Oleh ; Rusdy Mastura
Pengurus Golkar DPD I Sulawesi Tengah/ Ketua MKGR
Sulawesi Tengah
SAYA menyaksikan dan mengikuti secara langsung musyawarah nasional (Munas) Golkar di bali. Pada perhelatan akbar tersebut sebagai pimpinan DPD I Golkar Sulawesi Tengah, sekaligus mantan ketua DPD II Kota Palu, saya tak pernah melihat adanya politik uang apalagi sampai intimidasi yang dilakukan kepada para peserta munas.
Apa yang saya alami justru sebaliknya. Sebuah musyawarah yang diwarnai oleh semangat persatuan dan persaudaraan. Tak seperti yang diisukan oleh banyak pihak yang ingin mengobok-ngobok golkar, bahwa munas golkar berlangsung dan berjalan dengan cara-cara tidak demokratis.
Tuduhan tersebut adalah tuduhan yang justru akan membuat kami para DPD I ataupun DPD II akan semakin solid, karena jujur mereka yang menuduh munas bali berlangsung tidak demokratis justru adalah mereka yang berperilaku tidak demokratis. Pasalnya, selama munas kami justru menantikan para lawan-lawan politik Abu Rizal Bakrie untuk datang ke gelanggang, bertarung gagasan dan ide secara jantan, untuk golkar masa depan!
Namun justru tak ada satupun dari mereka yang menentang munas Golkar bali yang hadir, mereka lebih memilih menebar isu dari luar arena dan terus membangun opini negatif atas munas Golkar. Siapakah yang tidak demokratis sebenarnya ? Siapakah yang menggunakan cara-cara yang tidak jantan dalam menyelesaikan konflik ?
Munas Tandingan Golkar, Politik Bermuka Dua
Jujur saja, sebagai kader beringin saya sangat kecewa atas prilaku dan tindakan pihak-pihak yang berusaha memecah belah golkar. Di Tengah kita sedang akan memasuki usia 70 tahun kemerdekaan indonesia, sebuah usia yang harusnya menjadi tanda bagi kebangkitan bangsa ini sekaligus kebangkitan golkar.
Bukan malah sebaliknya, dimana saat usia 70 tahun indonesia dan golkar akan bernasib sama dengan kerajaan sriwijaya dan majapahit sebagaimana ramalan Djuyoto Sutani (2007) yang mengingatkan kita bahwa sriwijaya dan majapahit hanya berusia sampai tujuh puluh tahun. Apakah kita ingin golkar dan indonesia bernasib sama dengan majapahit dan sriwijaya ?
Sebagai kader golkar, saya memberikan apresiasi kepada tokoh-tokoh seperti Surya Paloh, Wiranto ataupun Prabowo Subianto yang ketika merasa Golkar tidak lagi berjalan sesuai dengan harapan mereka, dengan jiwa ksatria para tokoh-tokoh tersebut memilih mendirikan partai baru daripada menghancurkan golkar dari dalam.
Sebagai ketua MKGR sulawesi tengah, tentu saya juga begitu merasa terpukul oleh prilaku Ketua DPP MKGR yang menampilkan ‘atraksi politik bermuka dua’. Pasalnya, MKGR sebagai salah satu organisasi sayap golkar harusnya mampu memberikan kontribusi gagasan untuk penyelamatan partai bukan malah mendorong organisasi ini untuk terlibat dalam konflik.
Jika merasa banyak hal yang tidak sesuai, harusnya tokoh-tokoh golkar memilih jalan untuk membuka dialog, berdiskusi, dan berdebat secara rasional bukan malah menggunakan cara-cara inkonstitusional dengan menduduki kantor DPP dan menampilkan gaya premanisme, apalagi sampai menggelar munas tandingan dengan peserta munas yang tidak jelas.
Sampai kapan kita hendak menampilkan wajah politik bermuka dua ? Momentum saat ini justru menurut hemat saya adalah momentum yang baik, ketika golkar berani bersikap sebagai partai ‘penyeimbang’ pemerintahan, dibandingkan terus dipaksa menjadi pendukung pemerintah.
Mungkin sudah waktunya, dengan berada diluar pemerintahan kader-kader golkar mulai kembali fokus membenahi partai, membina kembali kekuatan politik akar rumput dengan berbagai kerja-kerja kekaryaan yang dahulu dibangun oleh pendiri golkar bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Politik bermuka dua adalah politik yang sudah harusnya kita tanggalkan, jika merasa tak ingin lagi bersama golkar lebih baik para tokoh-tokoh tersebut silahkan membuat partai baru, partai yang sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka, karena golkar terlalu besar jika hanya diarahkan untuk memenuhi kehendak berkuasa segelintir orang!
Sekali Golkar tetap Golkar, Sekali ARB tetap ARB!
Sebagai orang dari timur indonesia, saya dibesarkan bersama ombak dan karang lautan. Maka cara politik yang saya anut sampai saat ini adalah cara politik orang-orang timur yang menekankan satunya kata dan perbuatan. Saya sangat percaya falsafah para orang-orang tua kami, ‘ sekali kapal berlayar, pantang surut ketepian!
Sekali golkar tetap Golkar, sekali memilih Abu Rizal Bakrie maka kami akan tetap mengakui ARB sebagai ketua umum Golkar. Itulah falsafah politik yang sampai saat ini saya yakini. Ketika pilihan sudah diambil, ketika kata sudah terlanjur keluar dari mulut, maka pantang bagi kami untuk kembali menelan ludah.
Maka sebaiknya, pihak-pihak yang ingin berusaha menggiring DPD I maupun DPD II golkar untuk terlibat memecah belah golkar saatnya berhenti. Kami bukanlah orang-orang bodoh yang bisa diombang-ambingkan oleh kepentingan sesaat yang mengatasnamakan golkar.
Karena jika hal ini terus dilakukan para tokoh-tokoh tersebut, bukan akan mendapatkan simpati justru akan semakin membuat antipati pada kalangan kader-kader daerah. Kami tidak ingin dijadikan boneka oleh segelintir elit yang terus berusaha memecah belah Golkar, karena ini bukan pendidikan politik yang sehat bagi kader-kader muda golkar masa depan.
Kita harusnya memberikan pendidikan politik yang baik bagi kader-kader golkar dimasa akan datang, karena sejarah akan mencatat siapa yang pejuang dan siapa yang pecundang. Jika tidak ingin lagi di golkar silahkan membentuk partai baru, dibandingkan menampilkan model politik pecah belah.
Karena cara politik pecah belah, adalah cara politik kaum kolonial, cara –cara para penjajah, bukan cara-cara pejuang yang terhormat. Golkar terlalu besar jika hanya melayani pikiran-pikiran segelintir orang yang berambisi akan kekuasaan. Karena golkar harus dan tetap mesti ada, indonesia masih butuh golkar!(humas dan protokol Pemkot Palu)