Badan pusat statistik (BPS) RI merilis Provinsi Sulawesi Tengah urutan ke 10 daerah termiskin se Indonesia.
Padahal kekayaan alamnya sangat berlimpah dalam perut bumi Sulawesi Tengah.
Mulai dari kandungan kekayaan alam laut seperti berbagai jenis ikan, tanah pertanian dan perkebunan yang subur, tambang galian C, nikel, Emas dan tempat-tempat wisata alam dan bahari.
Semuanya itu merupakan kekayaan Sulteng yang dapat memberikan kesejahteraan bagi daerah, masyarakat dan negara.
Namun apa yang terjadi, kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi Sulteng, banyak diekspoilatis “dirampok” oleh investor asing dan aseng baik secara legal maupun ilegal.
Sebut saja kekayaan alam tambang nikel di Morowali dan Morowali Utara banyak dikelola dan dikusaia aseng, tapi tidak memberikan dampak perekonomian yang signifikan bagi daerah Sulteng.
Bahkan cenderung merusak lingkungan alam. Belum lagi jika ada perusahaan pertambangan yang lokasinya lain tapi mengambil “mencuri”material di lokasi lain.
Seperti yang diduga terjadi di eks lokasi PT.Inco di kecamatan Bahodopi, dimana ada perusahaan tambang yang diduga mengambil material nikel di eks PT.Inco itu.
Selain nikel yang terkandung di dalam perut bumi Sulteng, juga emas. Tambang emas ini ada di Kota Palu, Kabupaten Buol, Parigi Moutong dan Poso. Hanya saja belum jelas pengelolaannya.
Ironis memang daerah yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah malah tergolong miskin. Padahal di daerah ini terdapat perusahaan raksasa pengelola tambang nikel.
Adalah PT.Bintang Delapa Mineral (BDM) memillki industri hilir dan hulu yakni PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kemudian ada Donggi Senoro di Luwuk Banggai pengelola dan mengeksplotasi Gas.
Kehadiran perusahaan tambang raksasa ini mestinya membawa dampak kehidupan ekonomi yang mapan di Sulteng. Namun apa yang terjadi justru Suteng masuk 10 besar daerah termiskin di Indonesia.
Pertanyaannya adakah royaliti dari perusahaan tambang untuk daerah ini? Kalaupun ada berapa nilainya. Begitupun dengan ketenaga kerjaaan mestinya penyerapan tenaga kerja lokal lebih diutamakan.
Sehingga cepat atau lambat stikma kemiskinan itu berubah jadi kesejahteraan.
Tapi kenyataan di lapangan tenaga kerja asing lebih dominan dengan gaji tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja lokal.
Bahkan tenaga kerja lokal di industri pertambangan di Sulteng lebih dominan buruh kasar. Hal ini mungkin menyangkut penguasaan ilmu dan teknologi.
Selain tambang, perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit juga luar bisa luasnya di Sulteng. Ada di Luwuk Banggai, Sebagian Donggala, Parigi Moutong, Poso Morowali, Morowali Utara dan Buol.
Begitupun dengan pertanian dan perkebunan kakao, cengkeh, buah-buahan dan sayur mayur, yang mestinya dapat memberi dampak kesejahteraan ekonomi secara umum bagi masyarakat di daerah ini.
Atau bisa jadi salah satu penyebab kemiskinan di Sulteng adalah bencana alam yakni gempa bumi, likuifaksi dan tsunami. Dan ditambah lagi pandemi covid19.
Karena banyak warga kehilangan tempat tinggalnya, penghasilan tak menentu, dunia usaha lesuh, interaksi bisnis terbatas.
Dan pengangguran meningkat. Semoga dengan pemimpin baru Sulawesi Tengah stikma daerah termiskin itu segera diatasi dengan program-program peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Sulteng harus sejajar dengan daerah lain yang lebih dulu maju dan berkembang, dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD). Semoga saja. ***