Oleh Bang Doel (deadline-news.com)
Bersamaan Hari Raya kaum Buruh 1 Mei, 20 tahun lalu anak sulung saya lahir ke dunia, tepatnya 1 Mei 1998. Saya bangga dan bersyukur atas kelahiran anak saya itu. Sebab ribuan bahkan jutaan buruh di seluruh penjuru dunia tak terkecuali Indonesia menyambut dengan suka cita dan merayakan hari buruh itu. Saya menyebutkan May Day “Hari Raya Kaum Buruh”.
Kenapa saya sebut hari Raya? Karena diperingati diberbagai tempat diseluruh negara di dunia ini. May Day bukan hanya dirayakan di Indonesia, tapi dibelahan dunia secara global.
Sejarahnya kaum buruh banyak korban ketika mereka memperjuangkan hak – haknya dan kebebasannya membentuk kelompok dan organisasi dimana mereka bekerja. Utamanya mereka memperjuangkan pemberian upah yang lebih layak dan waktu kerja 8 jam.
Karena merupakan hari besar, maka pemerintah menjadikan May Day sebagai kelender rutin, sehingga dijadikan hari libur nasional (tanggal merah), itupun berkat perjuangan kaum buruh.
Peringatan May Day itu secara serempak dilaksanakan diseluruh dunia. Menariknya May Day dihiasi dengan aksi-aksi unjuk rasa di kantor-kantor pemerintah dan gedung-gedung Parlemen (DPR), serta tempat-tempat terbuka, sehingga menjadi tontonan bagi masyarakat biasa.
Tapi mestinya di hari raya kaum buruh ini, ada konsensus dengan pemerintah dan pengusaha agar upah mereka lebih ditingkatkan untuk memenuhi kesejahteraan.
Bukan soal upah saja, tapi perlu ada bergening, sehingga para tenaga kerja Indonesia yang jumlahnya mencapai 5,5 perse dari total penduduk 262 juta lebih atau setara 14 juta orang pengangguran perlu diperjuangkan, agar investor asing yang masuk ke negeri ini, membuka usaha dapat mempekerjakan tenaga kerja Indonesia.
Bukan malah sibuk dan larut dalam kondisi politik, bersama orang-orang “yang haus akan kekuasaan”.
Jangan bawa organisasi buruh ke ranah politik praktis. Tapi jadikan organisasi buruh sebagai wadah perjuangan untuk menekan pemerintah agar tenaga kerja kita dapat dipekerjakan di perusahan-perusahan asing dan aseng yang ada didalam negeri dengan upah yang sesuai dan dapat menopang kehidupan para buruh di Negeri ini.
Coba kita cermati sejarah perjuangan kaum buruh, ditandai pada tanggal 1 Mei 1886, di Amerika, sekitar 200 000 pekerja berhasil mendapatkan hak kerjanya 8 jam sehari berkat tekanan serikat-serikat pekerjanya. Meski begitu, bentrokan dengan polisi menyebabkan sejumlah korban tewas.
Untuk mengenang kemenangan pahit itu, serikat-serikat pekerja Eropa, beberapa tahun kemudian, mendeklarasikan « journée internationale des travailleurs » ‘Hari Buruh Internasional’ atau « Fête des travailleurs » ‘Pesta para Buruh’ yang ditujukan untuk memperingati 1 Mei.
Hari itu kini diperingati sesuai dengan gaya buruh masing-masing, Fête du Travail » ‘Pesta Kerja’, meski ungkapan itu sama sekali tidak tepat (kerja tidak akan dipestakan tetapi menghormati kaum pekerja).
Konggres ke-4 American Federation of Labor, pada tahun 1884, serikat buruh utama AS memberi waktu dua tahun untuk kepada majikan untuk membatasi hari kerja delapan jam. Mereka memilih untuk memulai aksi mereka 1 Mei karena banyak perusahaan Amerika yang memulai pembukaan buku mereka.
Pada tanggal 1 Mei 1886, banyak kaum pekerja memperoleh kepuasan kerja. Tetapi yang lain, kurang beruntung, berjumlah sekitar 340.000, yang mogok untuk memaksa majikan mereka untuk memenuhi tuntutan mereka.
Pada tanggal 3 Mei, unjuk rasa menyebabkan tiga orang pemogok dari perusahaan McCormick Harvester di Chicago tewas. Sebuah pawai protes digelar hari berikutnya dan di malam hari, sementara demonstrasi tercerai-berai di di Haymarket Square, hanya tersisa 200 pengunjuk rasa dan meraka harus menghadapi begitu banyak polisi. Kemudian sebuah bom meledak di depan polisi, sejumlah polisi tewas.
Tiga anggota serikat anarkis diadili dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Lima orang lainnya digantung November 11, 1886 meskipun ada bukti tidak pasti (mereka akan direhabilitasi beberapa tahun kemudian) dikutip di koranyogya.com.
Memaknai sejarah panjang perjuangan kaum buruh itu, mestinya mereka yang memimpin organisasi buruh tidak berfikir praktis untuk meduduki jabatan di pemerintahan. Tapi lebih pada gerakan politik perjuangan untuk menekan pemerintah dan pengusaha, sehingga ada posisi tawar untuk membantu para pekerja di Indonesia agar mereka diprioritaskan ketimbang tenaga kerja asing.
Diharapkan Organisasi buruh tetap independen, tidak memihak kesalah satu tokoh politik dan partai politik, tapi menjadi wadah perjuangan bagi kaum lemah, yang suaranya tak didengar dan nasibnya tak dipedulikan. Karena buruh itu berada dimana-mana. Ada buruh Tani, buruh Pabrik, buruh bangunan, bahkan pekerja pers juga bagian dari buruh.
Buruh itu berasal dari berbagai latar belakang, maka sebaiknya organisasi buruh independen, tanpa berafiliasi dengan partai politik dan tokoh politik manapun .
Jangan jadikan buruh jadi tunggangan politik oleh tokoh-tokoh politik tertentu untuk menuju kekuasaan dalam Negara. Akhirnya salam perjuangan bagi kaum buruh dan selamat hari buruh, hidup buruh. ***