Oleh : Ibech Tirani
“Jikan Ingin Belajar Toleransi di Tolai Parimo”
Pagi itu, mendung bergelayut malu-malu di langit Kampoeng “Lima Tuhan” (Tolai Kab.Parigi Moutong -Parimo), menipis di tepian langit, bergerak pelan, teduh dan sejuk.
Beberapa kendaraan roda dua bergerak, beriringan, dengan pengendaranya yang berpakaian rapi, memegang erat Alkitab di tangannya, sesekali pengendara motor dengan nada sopan, menegur para anak muda yang sibuk mempersiapkan Ogoh-ogohnya di balai banjar, yang sebentar lagi, akan diarak-arak keliling kampoeng.
Basa-basi sedikit, bahkan sempat larut dalam gelak tawa, dengan kebahagiaan yang sama, dalam mempersiapkan ritual masing-masing, menghadap ke Tuhan yang berbeda, namun dengan asa yang sama, diskusi kecil pun berakhir, karena Lonceng gereja sudah berdentang, pertanda waktunya ibadah.
Ketika Sang Raja Siang, merangkak naik, musik pengiring para bajang Bali, yang berdentum lumayan kencang, untuk menambah semangat menyelesaikan “merias” Ogoh-ogohnya, tiba-tiba dimatikan, bahkan sama sekali tidak lagi terdengar, ternyata di sebelah, mengayun lembut lantunan azan shalat duhur di Masjid Attaqwa.
Bukan hanya itu saja, gelak tawa dan aktivitas yang dianggap mengganggu ibadah shalat duhur, pun dihentikan, diganti dengan aktivitas makan siang, merokok dan ngopi, tidak satupun mengeluh tentang momentum ini.
Hari itu, sebuah iven besar akan segera digelar pukul 15.30 sore itu, nampak jejeran Ogoh-ogoh sudah mencuri perhatian warga, yang memenuhi ruas jalan sepanjang 2,7 kilometer, jangankan bahu jalan yang sudah penuh sesak warga, beberapa rumah warga berlantai dua pun, dipenuhi warga.
Dua orang Mangku, sudah bersiap untuk membuka Ritual Pengerupukan Ogoh-ogoh, atau arak-arakan Ogoh-ogoh, saat mantar dibacakan, suasana hening, momentum khidmat itu, terjadi di pukul 13.30, para pembawa Ogoh-ogoh, terlihat sudah siap, bahkan terlihat bersemangat, ketika Tirta Suci, dipercikan, yang nantinya akan menjadi pelindung selama prosesi pengrupukan digelar.
Kemudian salah seorang tokoh agama Hindu, Dewa Putu Suka, membacakan doa dalam kidungnya, semilir angin semakin sejuk, sesejuk hati dan rasa warga penghuni kampoeng.
Dalam doanya, Umat Hindu meminta kepada Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Penguasa Jagat, bukan hanya melindungi proses Ritual Pengrupukan, tetapi juga menjaga warga kampoeng secara keseluruhan, tetap dalam Lindungan-NYA, dan terus menjaga spirit toleransi, SANGAT INDAH..!!!
Usai sambutan Ketua PHDI, yang memohon dengan sangat agar kegiatan ini, keramaian, semangat dan juga tentunya NILAI TOLERANSINYA terus dijaga, bukan untuk saling mengikuti ritualnya, karena tiap agama punya aturan masing-masing, tetapi saling menghargai menjagai kebersamaan dalam rasa yang sama.
Seorang Pecalang pun memberi kode, karena mendapatkan informasi, kira-kira lima menit lagi, azan Shalat Asar segera dikumandangkan, panitia pun menghentikan semua aktivitasnya, termasuk bunyi sound sistim dimatikan sepenuhnya, hening tidak ada aktivitas mencolok, bahkan para pembawa Ogoh-ogoh, lebih memilih duduk sambil menunggun instruksi selanjutnya.
Shalat Asar usai digelar, Sang Pecalang, yang ditugaskan di depan Masjid Attaqwa, memberi kode lewat HTnya, bahwa para jamaah masjid, sudah bersiap di depan masjid, menungu arak-arakan mahluk berbentuk Bhuta Kala itu, lewat.
Saat itu juga, sang Ketua PHDI, mengangkat bendera, sebagai pertanda arak-arakan segera dimulakan, dan jalanan pun menjadi lautan manusia, larut dalam gelaran, meriah, semangat dan terus menjaga asa untuk saling menghargai.
Bahkan dua kereta dari Para Penganut Hindu Krisna, dengan pakaian Sari Tanah Hindustan, ikut dalam arak-arakan, menari dengan gayanya yang indah, bahkan ikut membagikan buah rambutan dan langsat kepada para penonton, terasa sejuk dan mengharukan.
Tetiba dari beberapa jamaah yang tadinya di masjid, keluar menyiapkan beberapa dos air minum mineral dalam beragam kemasan, gelas maupun botol, bahkan ada yang menyiapkan makanan kecil, agar para pembawa Ogoh-ogoh, tidak kelaparan.
Saat senja tiba, Ogoh-ogoh sudah dibakar di Pura Merajapati,sebagai simbolisasi hancurnya keburukan, maka mereka pun bersiap pulang.
Tidak lama kemudian, Pawai obor pun digelar bagi umat Islam, yang akan segera menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan, di ruas jalan dan lagi-lagi, mereka pun saling sapa dengan kostum dan simbol yang berbeda, dan tentunya dengan Tuhan yang berbeda.
Pukul 04.30 Subuh, saya pun dibangunkan mertua untuk sahur pertama, saat saya, bersama anak saya makan, mertua menyiapkan ritual menyambut Tapa Bhrata Penyepian, dan usai makan sahur, kami dengan cara kami, mengucap terima kasih kepada mertua hebat kami, untuk melanjutkan shalat subuh di luar kampoeng, karena mereka sudah harus mematikan semua lampu, larut dalam doa dan puasa, untuk sebuah harapan di Tahun Baru Saka 1946.
Jika ingin belajar sebuah toleransi, miniatur negara, datanglah ke Tolai. saya pun bangga, saat ini beristrikan seorang wanita tangguh, yang tali pusarnya ditanam di KAMPOENG LIMA TUHAN.***