“Sorotan Remunerasi Ketua Dewan Professor”
Oleh : Dj. Nurdin, M. Nur, Dj. Mariajang dan Muktar L. (Aktivis Mahasiswa Tahun 80 an).
Prof.Dr.A. Mattulada, Rektor pertama Universitas Tadulako saat kampus ini menjadi Negeri, mengumpulkan para tokoh mahasiswa saat beliau pulang dari Belanda sekitar tahun 1984 an. Kami termasuk yang ikut serta. Kala itu, kami adalah pengurus Senat Mahasiswa Universitas Tadulako.
Tokoh – tokoh mahasiswa lintas Fakultas itu diajak beliau berdiskusi tentang demonstrasi mahasiswa yang telah kami lakukan beberapa hari sebelumnya.
Beliau bilang, demonstrasi itu wujud implementasi dari demokrasi. Tapi, demonstrasi harus punya logika “rasioning” yang kuat dan mendasar.
Mengapa? karena kalian kata beliau, wakil dari golongan rasional. Mahluk yang berfikir. Kaum intelektual.
Kalian tahu, lanjut Prof Mattulada. Demonstrasi yang kalian dilakukan di sini, di Palu ini.
Resonansi informasinya sampai ke Laiden University di Belanda tempat saya mengajar.
Prof Mattulada adalah Rektor yang menjadi dosen tamu di Belanda.
Mahasiswa saya di Belanda menertawai apa yang kalian lakukan. Tidak masuk di akal sehat mereka, ketika mengetahui isu yang kalian lakukan adalah masalah Wajib Helm.
Di mana otaknya mahasiswa Prof di Palu itu..? Begitulah Matulada menirukan ungkapan Mahasiswanya di negeri Kincir angin tentang Isu yang menggerakkan Mahasiswa Indonesia, khusus di Palu, berdemonstrasi.
Dengan gaya yang sangat khas, Prof Mattulada lalu menasehati kami tentang demokrasi. Tentang hak dan kewajiban warga negara. Dan, banyak hal lain yang sangat mengesankan.
Cerita interaksi intelektual dengan Prof Matulada lebih tiga puluhan tahun ini terungkap.
Ketika, tiba- tiba kami mendengar sejumlah oknum mahasiswa Tadulako melakukan demonstrasi pada hari kamis, 9 Juni 2021.
Demonstrasi itu tergolong unik, untuk tidak menyebutkannya aneh dari banyak segi.
Pertama, dilakukan di puncaknya ledakan Covid 19.
Kedua, ternyata diduga, tidak mewakili lembaga kemahasiswaan atau BEM.
Ketiga, pimpinan teras universitas Tadulako, terutama yang mengurusi kemahasiswaan, juga tidak tahu menahu.
Dan, ke empat, isu yang diangkat diduga relatif tidak memiliki substansi langsung dengan kepentingan mahasiswa.
Demonstrasi itu menyasar ketua Dewan Pengawas Universitas Tadulako yang dijabat oleh Irfa Ampri, Kakanwil Perbendaharaan Negara RI provinsi Sulawesi Tengah.
Alasannya, ketua Dewas dianggap mencampuri terlalu jauh urusan universitas Tadulako.
Kalau ini benar, mengapa bukan Universitas Tadulako yang keberatan..? Mengapa harus mahasiswa..? Apa kepentingan langsungnya..?
Ternyata, beberapa hari sebelumnya, Dewan pengawas menemukan banyak kejanggalan pengelolaan dana BLU Universitas Tadulako.
Banyak hal yang diminta Dewas untuk dibenahi. Beberapa hal yang sangat menyolok adalah temuan pembayaran remunerasi yang diduga salah bayar kepada oknum pejabat yang struktur kelembagaannya tidak masuk dalam Organisasi Tata Kelola (OTK) Universitas Tadulako.
Angka akumulatif nya cukup besar. Dan ini, diduga berpotensi merugikan keuangan negara. Diduga masuk kategori tindak pidana korporasi. Salah satu contoh. Misalnya : Pembayaran Remunerasi untuk Ketua Dewan Profesor.
Lembaga ini tidak ada dalam OTK hanya semacam PAGUYUBAN dan sebelumnya dijabat oleh Alm.Prof.Dr.Anhulaila M.Palampanga lalu digantikan oleh Prof.Dr.Sutarman Yodo,SH,MH.
Selama dijabat oleh mereka berdua Ketua Dewan Profesor tidak pernah mendapat Remunerasi.
Selanjutnya Ketua Dewan Profesor saat ini dijabat oleh Prof.Dr.Mery Napitupulu, beliau ini diangkat tidak melalui proses pemilihan atas usulan Prof Dr.Muh.Basir Cyio mantan Rektor UNTAD sebelumnya.
Yang aneh karena tiba-tiba Ketua Dewan Profesor mendapat Tunjangan sebesar Dekan Fakultas pada great 16 dengan jumlah diatas Rp.120. juta per tahun.
Dana ini cukup besar, jika digunakan untuk bantuan UKT mahasiswa diturunkan satu tingkat sebesar Rp.600.000,- setiap mahasiswa maka ada sekitar 200 mahasiswa bisa memperoleh bantuan UKT.
Ini baru Remunerasi Ketua Dewan Profesor. Masih banyak lagi Lembaga-lembaga yang dibentuk tidak ada dalam OTK UNTAD yang disarankan oleh DEWAS untuk dihentikan pembayarannya.
Menurut kami langkah DEWAS sudah tepat sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Terkait efisien Dana UNTAD, sebaiknya Ketua Dewan Profesor diserahkan pada salah satu Wakil Rektor yang memiliki Gelar Profesor sehiga tidak perlu dibayarkan tunjangannya. Karena sudah mendapat REMUN sebagai Wakil Rektor.
Begitu pula masa jabatan KETUA DEPROF bisa saja diganti setiap tahunnya.Tetapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda penggantian karena diangkat tidak melalui pemilihan.
Kami berharap Ketua DEWAS mengundang BPK untuk melakukan AUDIT TOTAL termasuk Perjalanan Keluar Negeri yang dilakukan sejak tahun 2016 hingga saat ini yang tidak ada urgensinya.
Hasil temuan BPK diharapkan dapat mengurangi kerugian Negara, dan MEWAJIBKAN untuk MENGEMBALIKAN bagi mereka yang tidak berhak mendapatkannya.
Semanjak terungkapnya temuan tersebut. Ketua Dewas mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Banyak yang memberi jempol pujian sebagai penyelamat aset pendidikan dan keuangan negara.
Tapi, ada juga yang “membully” dengan berbagai cara. Termasuk dengan penyerangan pada individu melalui media sosial. Ketua Dewas dituduh memeras Universitas Tadulako satu Miliar.
Beliau juga disandingkan dengan gambar porno melalui Akun Dekan 909. Terakhir, gerakan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi langsung ke kantor Perbendaharaan Negara Provinsi Sulawesi Tengah. Tempat beliau memimpin sebagai Kakanwilnya.
Seandainya oknum- oknum mahasiswa ini mengetahui dengan cermat duduk masalah yang sesungguhnya. Justru, diduga mereka akan mendukung upaya mulia yang dilakukan Dewan Pengawas. Sebab terbukti, Dewan Pengawas menertibkan dan menyelamatkan pemakaian dana negara secara benar.
Dengan begitu, ada sekian milyaran dana yang bisa diselamatkan untuk kepentingan mahasiswa di bidang akademik maupun non akademik.
Atas semua kejadian ini kita berharap. Lahirnya hikmah yang bermanfaat bagi semua pihak.
Semangat mahasiswa untuk demonstrasi tetap patut dirawat. Karena, itu adalah peradaban demokrasi. Tapi, logika yang menjadi pijakan bergerak, haruslah berkualitas.
Sebab, kekuatan moral (moral force) gerakan mahasiswa, ada di situ. Tanpa itu, mereka hanyalah kerumunan semata. Janganlah. Selamat Berjuang… HIDUP MAHASISWA.***