Ternyata jabatan atau kekuasaan itu menjadi candu bagi orang-orang tertentu. Bagaimana tidak sekali berkuasa atau menjabat mau dua kali, bahkan tiga kali. Dan kalau memungkinkan seterusnya sampai mati.
Sebut saja Presiden pertama Indonesia Ir.Soekarno memproklamirkan dirinya menjadi presiden seumur hidup zaman orde lama.
Kemudian penguasa orde baru atau presiden kedua Indonesia Jendral Purnawirawan TNI Soeharto berkuasa selama 32 tahun dengan melalui pemilihan di MPR RI sekali dalam lima tahun. Namun berkali-kali terpilih oleh MPR RI secara aklamasi dan hanya wakil presidennya yang berganti-ganti.
Praktek kecandua atas kekuasaan atau jabatan ini banyak pejabat di negeri ini yang terpapar. Sebut saja presiden Ir.Joko Widodo yang diisukan ingin menjadi presiden tiga periode sekalipun konstitusi negara kita yakni undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 tidak menghendakinya.
Sebagaimana dalam Ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 secara tegas berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’. Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode”.
Isu perpanjang tiga periode masa jabatan presiden Jokowi itu diklaim oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia adalah idenya. Dan Ia juga mengatakan, itu adalah sebuah kesalahan yang pernah diucapkannya (dikutip di tempo.co).
Pembelaan Bahlil itu tidak serta merta dipercaya oleh publik. Karena sekalipun Jokowi “gagal” maju tiga periode dalam jabatan Presiden RI, tapi ternyata anaknya yang notabene wali kota Solo Gibra Raka Buming Raka didorong maju jadi cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto di Pilpres 14 Februari 2024 tahun depan.
Kendati harus “mengacak-acak” konstitusi atau aturan lainnya soal batas umur capres dan cawapres 70 tahun menjadi
Batas Usia Capres-Cawapres 40 Tahun Atau Pernah Menduduki Jabatan yang Dipilih dari Pemilu/Pilkada. (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia).
Lagi-lagi perubahan batas usia berdasarkan konstitusi itu dicap sebagai pesanan dari oknum pejabat yang “kecanduan” kekuasaan atau jabatan.
Karena walhasil Jokowi yang notabene masih memegang kekuasaan sebagai Presiden dapat mendorong dan memajukan anaknya jadi cawapres walau usianya belum genap 40 tahun. Dan masih menjabat walikota Solo.
Periode kedua Presiden Jokowi, adalah pejabat birokrasi yang paling diuntungkan untuk mendapatkan “kekuasaan atau jabatan” tanpa harus berkeringan, bekerja keras dan keluar uang ongkos pemilukada.
Pejabat birokrasi yang diuntungkan itu adalah yang ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah. Mereka tidak perlu repot-repot berkampanye, merogoh kocek untuk biaya kampanye dan pengadaan alat peraga kampanye, tapi langsung bisa duduk dalam kursi kekuasaan.
Menariknya lagi setelah menjadi penjabat mau lagi maju sebagai kepala daerah definitif. Selesai jabatan Bupati atau walikota mau lagi jadi gubernur. Kenapa, karena sudah “kecanduan” bagaimana enaknya jadi pemegang tampuk kekuasaan sekalipun hanya di daerah.
Kata orang sekali duduk lupa berdiri, padahal pretasi memimpin minim, tak ada kemajuan signifikan hanya mengandalkan bantuan langsung tunai (BLT) yang tidak membuat perekonomian bagi masyarakat berpendapatan rendah meningkat. Tapi hanya mengatasi perut yang sedang lapar secara insiden til.
Program BLT tidak memberi masa depan bagi penerimanya untuk berdampak kemajuan perekonomian secara signifikan, tapi hanya mengatasi secara sementara kelaparan dalam masyarakat tertentu.
Bagaimana tidak kecanduan dalam memegang jabatan atau kekuasaan, karena mendapat fasilitas dari negara.
Mulai ujung kaki hingga ujung rambut semuanya dibiayai oleh negara. Mobil mewah, berbelanja keperlu pribadi dan keluarga, pergi pulang kemana-mana semuanya dibiayai oleh negara.
Bahkan termasuk buang air besar dan kecil boleh dikatakan semuanya ditanggung biayanya oleh negara. Tinggal di rumah jabatan sejuk (berac), nyaman, asri, indah dan megah, dilengkapi fasilitas kendaraan dinas dengan bbm tidak pernah kosong dan antrian di SPBU.
Disediakan dokter pribadi, cek up ke rumah sakit manapun ditanggung oleh negara. Dan dikelilingi banyak orang, baik yang loyalis maupun yang “penjilat” untuk mendapatkan jabatan.***