Oleh Frans Manurung (praktisi hukum)
Keluar dari pintu hotel tampak cuaca pagi kota Balikpapan, mendung. Gerimis tipis-tipis.
Tetapi, aktivitas lalulintas di jalan Sudirman sudah mulai menggeliat. Sempat ada keraguan, jogging atau tidak.
Namun, jogger sejati harus tetap semangat. Tiada hari tanpa jogging, meski pun sudah menyandang pangkat opung. 😄😄
Setiap kali melewati anggota polantas yang sedang berdiri di pinggir jalan, selalu saling menyapa, “selamat pagiiii” yang serta merta dibalas “selamat pagi pak… tetap semangat”.
Saat berjogging ria, mata sempat melirik “Sedia : Bubur Manado, Coto Makasar, Sayur Lontong, Bubur Ayam”, spanduk yang dipajang di depan ruko.
Awalnya, biasa saja..kata lirik lagu. Tetapi sepanjang jalan, “bubur manado” itu mengusik konsentrasi. Jogging menjadi tidak fokus.
Sambiki, bayam, kangkung, daun gedi, kemangi, sambal terasi dan ikan asin selalu terbayang. Jakun turun naik, nelan air liur. Di sisi lain, terbayang pula jatah breakfast yang tersedia di hotel. Bemana eee ? 🤔🤔
Balik kanan… masuk ke ruko. “Bu… satu bubur manado, kopi susu, teh hangat”. Lalu, duduk menunggu sambil ngelap keringat.
Tak lama asistennya menghidangkan pesanan di atas meja.
“Dek.. ini makanan apa ?” sambil menunjuk ke piring berisi makanan yang tak terlihat ada sayurnya.
“Bubur Manado, pak”.
“Ooh.. sayurnya mana ?”
“Di dalam”.
“Ooo…iya udah”.
Sambil mengamati bubur manado yg tak kelihatan sayurnya itu, saya pun berupaya memahami makna kata “di dalam”, yang diucapkan asisten itu.
Dengan mengaduk, mencicipi satu sendok, mengendus aroma, merasakan teksturnya, saya pun dapat menyimpulkan, sbb :
Tafsir “konstitusional” terhadap kata ‘di dalam” adalah sambiki, bayam, kangkung, daun gedi, kemangi, jagung dan sayur-sayur lainnya yang lazim dalam bubur manado, harus selalu dianggap telah ada sepanjang dimaknai “telah diblender”.
Ternyata, bukan hanya “paling rendah 40 tahun” saja yang butuh ilmu tafsir, makan bubur manado di Balikpapan pun butuh hal yang sama. 🙋🙋 Yang sudah jelas kok ditafsir… hahaha. ***