Palu (Deadline News/koranpedoman.com) – Guru besar ilmu ekonomi Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali PhD berpendapat pemerintah dan lembaga keuangan memberikan dukungan pada pengembangan tambak udang berteknologi supra intensif karena hal ini sangat menjanjikan bagi perekonomian Indonesia ke depan.
“Tambak udang supra intensif ini sangat menjanjikan karena kita harus menghentikan impor pangan. Apalagi, dari udang ini, akan berkembang ikan, sehingga teknologi supra ini bisa menjadi favorit bagi Indonesia karena bagus bagi perekonomian,” katanya di sela peninjauan tambak udang percontohan supra intensif di Kelurahan Mamboro, Kota Palu, Minggu petang.
Prof Rhenald Kasali berkunjung ke Kota Palu untuk pertama kalinya dengan agenda pokok menjadi pembicara kunci pada seminar pengembangan kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Provinsi Sulteng yang difasilitasi Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng di Hotel Mercure Palu, Senin (25/7).
Teknologi budidaya udang supra intensif ini merupakan hasil inovasi DR Ir H Hasanuddin Atjo, diluncurkan pada 2013 dan hingga saat ini memiliki produktivitas 153 ton/hektare sehingga menjadi teknologi budidaya udang paling produktif di dunia.
Menurut Rhenald, untuk mengembangkan teknologi ini, dibutuhkan topangan menyangkut tiga hal yakni pertama dukungan sektor keuangan sebagai sumber dana investasi.
“Namun celakanya, sektor keuangan kita kurang menghargai hal-hal seperti ini, padahal kalau kita meninggalkan pertanian dan kelautan perikanan, hancur ekonomi kita,” ujarnya.
Menurut dia’ “sektor keuangan belakangan ini terlalu mendukung sektor konsumtif yang cepat menghasilkan uang dan jangka pendek, lebih pendek dari dua tahun, yang spekulatif dan membuat orang akhirnya terbelenggu di sana.”
Dukungan kedua adalah pemerintah perlu mengembangkan industri pendukung agar tidak lagi mengimpor komponen apapun dalam implementasi teknologi budidaya ini. Seperti kincir yang masih diimpor, jangan lagi menggunakan barang impor karena Indonesia punya besi baja dan teknologinya mendukung sehingga bisa dibuat di dalam negeri.
“Jadi teknologi riset seperti ini harus dikembangkan agar tidak mengimpor lagi komponen pendukung yang seharusnya bisa dibuat di dalam negeri. Begitu pula teknologi untuk pangan dan benih,” ujarnya.
Ada kecenderungan, kata Rhenal, ekonomi Indonesia ini kalau naik, maka impornya juga naik, ini harus dihentikan.
Dukungan ketiga adalah berupa kebijakan pemerintah menyangkut perizinan yang memudahkan para pelaku usaha menggunakannya.
“Jadi, pemerintah diharapkan bisa mendistribusi hasil riset pada rakyat, mendukung pasar, cold storage, dan transportasinya, seperti tol laut yang dijanjikan Presiden Jokowi. Kalau itu jalan, maka swasta akan lari sendiri,” ujarnya.
Kepala Dinas KP Sulteng Hasanuddin Atjo mengemukakan tambak udang supra intensif di Mamboro yang dibangun sejak 2013 itu dibiayai dengan dana APBD yang keuntungannya disetorkan ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah provinsi.
Tambak permanen ini berukuran 400 meter persegi dan mulai 2016 dilengkapi dengan dua kolam baru untuk percepatan pembesaran udang sehingga produktivitas menjadi lebih tinggi yakni bisa mencapai 170 ton/hektare.
Dari aspek bisnis, katanya, sistem budidaya udang ini sangat terukur dan menguntungkan sehingga bank-bank dan pengusaha yang berminat tidak perlu ragu membiayai atau mengembangkannya. “Dengan harga udang rata-rata Rp70.000 saja, keuntungan bisnis ini akan mencapai lebih dari 50 persen per siklus panen,” kata Atjo dengan menyebutkan bahwa biaya produksi udang di tambak Mamboro ini adalah Rp34.000/kilogram. (ant).***